Jumat, 29 Mei 2009

Fenomena Masyarakat Islam Indonesia dan Solusi Pemecahannya

Oleh: Al-Faqir Yusuf Heru Romadhon

Islam di negara Indonesia merupakan salah satu agama yang terbesar pemeluknya. Masyarakatnya yang beraneka ragam mulai dari Sabang hingga Merauke saling menjunjung kesatuan tanpa memperhatikan suku dan adat mereka. Di dalam Islam juga demikian yang di dalam menjalin hubungan satu dengan lainnya tidak memperhatikan yang namanya suku dan adat sebagaimana termaktub di dalam surat Al Hujurat ayat 13 yang artinya “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Ayat ini dengan jelas menjelaskan pada kita Islam tidak mendiskriminasikan keberadaan ataupun status seseorang kecuali orang bertakwa yang sangat tinggi derajatnya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Berdasarkan fakta yang ada hampir 85 persen masyarakat Indonesia memeluk agama Islam. Sehingga hal ini menjadi sebuah tolak ukur bagi kita bahwa Islam merupakan agama yang terbesar di negara tercinta kita ini. Dari jumlah yang ada terdapat sebuah kasus yang menyatakan “apakah penduduknya benar-benar menjalankan Islam berdasarkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya”.
Sebagai seorang muslim ada kalanya kita tidak hanya menerima segala sesuatu yang berhubungan dengan agama ini dengan tanpa mempertimbangkan apakah yang akan dijalankan tersebut bersumber atau tidak. Hal ini dikarenakan di dalam Islam semuanya sudah di atur di dalam aturan Allah dan rasulnya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam Sehingga apabila kita menemui permasalahan di dalam agama hendaknya kita kembalikan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulnya (Hadits) sebagaimana di salah satu ayat di Al Qur’an yakni: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S. 4:59).
Beberapa hal baru yang tidak dicontohkan oleh Islam di antaranya adalah peringatan kematian seseorang satu sampai seribu harinya, peringatan selamatan dan peringatan lainnya yang biasa diadakan oleh masyarakat Indonesia yang tidak ada asal usulnya dari agama Islam. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim disebutkan “ dari Ummul Mukminin, Ummul Abdillah Aisyah Radhiyallaahu 'Anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “ barangsiapa membuat – buat dalam urusan (agama) kami ini amalan yang bukan bagian darinya, ia tertolak“(diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim disebutkan, “ barangsiapa mengerjakan suatu amal yang bukan berdasar pada perintah kami, ia tertolak”. Dari sini jika kita mau berpikir kita pasti menyadari bahwa segala amal ibadah yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya berdasarkan hadits di atas maka tertolak.
Cobalah kita tengok salah satu potongan ayat di Al Qur’an yang sangat masyhur yang sering kita dengar namun apabila kita merenungi kita akan menemukan kata kunci yang sangat mencengangkan kita. Ayat itu adalah surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridloi Islam itu jadi agama bagimu” (Q.S. 5:3). Ayat ini telah menjelaskan kepada kita bahwa Islam tidak membutuhkan pengurangan maupun penambahan. Imam Ibnu katsir menjelaskan “Ini adalah nikmat Allah terbesar yang diberikan kepada umat ini. Karena Allah telah menyempurnakan agama mereka untuk mereka. Sehingga tidak perlu kepada agama lain dan tidak perlu kepada Nabi lain. Karena itu Allah menjadikannya sebagai penutup para Nabi yang diutus kepada manusia dan jin. Maka tidak ada yang halal kecuali apa yang telah dihalalkannya dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah diharamkannya dan tidak ada agama kecuali apa yang telah disyariatkannya” (Tafsir Ibnu Katsir 2/19).
Penjelasan dari salah satu Imam Besar Ahlussunnah Wal Jama’ah telah menjelaskan bahwa memang benar jika kita ingin menjalankan Islam yang diridloi oleh Allah kita harus mengikuti syariat tanpa terkecuali. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman di dalam surat Al Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. Ayat ini secara tegas menekankan bahwa jika kita memproklamirkan sebagai orang-orang yang beriman Allah mengharuskan kita agar kita menjalankan syariat ini secara menyeluruh dan tidak sebagian/parsial.
Jika kita melihat kembali ke sebuah sejarah sebelum Rasulullah diturunkan di kalangan kaum quraisy, kita akan menyadari bahwasannya orang Arab dahulu sungguh mengalami sebuah kejahilan yang parah. Mereka kaum quraisy mengadakan sebuah ritual yang menjurus ke sebuah kesyirikan. Penyembahan terhadap patung – patung seperti Lata, Mana, Uzza, menjadi sebuah tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat kaum quraisy. Membunuh bayi perempuan yang lahir adalah sebuah dilema yang sangat kejam jika kita kita memandang dari kacamata kemanusiaan.
Dengan kedatangan Rasulullah di tengah – tengah kaum quraisy tradisi semula kaum quraisy lambat laun menjadi berubah setelah peritiwa fathul makkah. Sungguh perubahan yang sangat signifikan yang telah Rasulullah ajarkan di dalam mendakwahkan agama yang mulia ini. Semula tradisi penyembahan patung yang menjadi sebuah kebiaasan kaum quraisy telah sirna setelah peristiwa fathul makkah.
Bagaimana dengan masyarakat kita saat ini, mungkin agaknya mirip dengan kebiasaan kaum quraisy. Hal ini bisa dilihat seperti datang ke kuburan orang soleh untuk meminta perantara agar tercapai hajat yang disampaikan. Sekarang kita berpikir logis mengenai masalah ini apakah orang mati bisa membantu kita. Pasti orang yang berpikiran intelektual mengatakan tidak mungkin orang yang mati berbuat demikian. Sesungguhnya jika kita membaca salah satu hadits rasulullah yang berbunyi “ akan putus segala amal anak cucu adam kecuali tiga perkara yaitu shodaqoh jariyahnya ketika dia masih hidup, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak sholeh yang selalu mendoakannya “ (H.R. Muslim).
Dari hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang mati tidak bisa melakukan apa – apa. Yang membantu dia adalah tiga perkara yang telah disebutkan di atas. Lalu, lantas apa yang bisa orang mati sampaikan. Orang mati tersebut sebenarnya membutuhkan doa dari kita bukan kita yang butuh pertolongan kepada mereka untuk menyampaikan hajat kita.
Permasalahan dari perilaku masyarakat kita saat ini adalah kebiaasaan mereka yang mengikuti kebanyakan masyarakat yang ada di masyarakat tersebut. Adat istiadat, cara beragama dan lain sebagainya yang meniru kebiasaan masyarakat. Suatu contoh kita ambil perumpamaan, apabila kita lahir di suatu kampung yang masyarakatnya rata – rata orang NU suatu saat ketika kita dewasa nanti tidak menutup kemungkinan mengikuti adat kebiasaan mereka. Seandainya kita berada di suatu kampung yang mayoritas penduduknya orang Muhammadiyah kita pasti suatu saat menjadi orang yang di anggap pengikutnya orang – orang Muhammadiyah. Begitu pula jika berada di lingkungan yang penduduknya LDII, aliran Tarikat ataupun sekte-sekte lainnya seperti Syiah, Mu’tazilah, Jahmiyah dan masih banyak lagi.
Di dalam Islam tidak demikian cara menganut agama. Seseorang harus bersifat kritis di dalam beragama islam. Adakalanya memang benar jika kita berada di suatu masyarakat seperti di atas lambat laun kita akan mengikuti mereka jika kita bergaul dan mengikuti cara beragama mereka. Rasulullah pernah menjelaskan yang kesimpulannya ”apabila kita dekat dengan tukang minyak wangi, kita akan ikut kena wanginya, namun apabila kita dekat dengan tukang pandai besi, kita akan kena arangnya“ (Al Hadits).
Menyikapi permasalahan ini apakah seperti ini sebagai seorang muslim yang segalanya sudah diatur oleh syariat cara beragamanya meniru keadaan sekitar ataupun kebanyakan orang. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman di dalam surat Al An’aam ayat 116 yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Ayat ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa Allah melarang kita untuk menuruti/mengikuti cara pandang ataupun pemahaman orang-orang banyak di sekitar karena mereka tidak menjamin kita bisa selamat dari jalan Allah.
Islam adalah agama yang mudah, apabila ada permasalahan selalu ada solusinya. Di dalam Al Qur’an apabila ada masalah di suatu ayat, masalah tersebut dijawab dan dijelaskan jalan keluarnya oleh ayat lain. Surat Al An’aam sebagaimana dijelaskan di pernyataan di atas menjelaskan bahwa janganlah umat Islam mengikuti kebanyakan orang. Pernyataan ini kemudian dijelaskan di ayat lain yang menyatakan “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. 3:31). Ayat ini menjelaskan bahwa jika umat Islam benar-benar cinta kepada Allah maka harus mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam karena apa yang disampaikan darinya bukanlah hawa nafsu akan tetapi penerang yang menyelamatkan umat manusia dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang sebagaimana yang dikatakan oleh Allah di surat An Najm ayat 3 “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. Namun bagaimana kita mengikuti bagaimana Rasulullah beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Sekarang coba kita introspeksi pada diri kita, apakah agama dan cara beribadah kita sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya. Solusi dari permasalahan ini adalah hendaknya kita kembali ke pemahaman para salafush sholih (para pendahulu kita yang sholih) seperti para sahabat, tabi’in (pengikut sahabat), tabiut tabi’in (pengikut tabi’in). Mengapa kita seharusnya kembali ke pemahaman mereka. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang berbunyi “ sebaik – baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka “(H.R. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Mereka para salafush sholih lebih tahu masalah urusan – urusan agama karena mereka yang salah satunya adalah sahabat menyaksikan langsung turunnya wahyu. Mereka hidup di kala rasulullah masih ada. Jika mereka menjumpai sesuatu yang rumit di dalam masalah agama mereka akan menemui dan bertanya kepada Rasulullah.
Dari pernyataan-pernyataan di atas bisa disimpulakan bahwa Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam hendaknya mengikuti cara beragama sebagaimana yang termaktub di dalam Al Qur’an maupun Al Hadist. Namun tidak cukup terpaut pada dua hal di atas karena Rasulullah menjelaskan di dalam salah satu Hadist yang menyatakan “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus. Gigitlah ia dengan gerahammu. Jauhilah hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan lagi shahih.”).
Dari hadits ini dapat disimpulkan pula bahwa pemahaman yang shahih/valid tentang Islam adalah pemahaman para Sahabat. Allah telah meridloi mereka sebagaimana yang tercantum di dalam salah satu ayat “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.S. 9:100). Di dalam ayat ini Allah memuji para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan adanya kewajiban untuk mengikuti mereka sehingga keridloan Allah tidak akan bisa diraih kecuali dengan mengikuti mereka. (Wallahu A’lam)




Referensi:
Al Qur’anul Kariim
Tafsir Ibnu Katsir
Arba’in Nawawi
Shahih Bukhari
Shahih Muslim